Minggu, 01 Juni 2014

Pilih Jokowi Atau Prabowo

Pertanyaan ini pernah diajukan seorang kawan kepada saya. Pertanyaan yang sebenarnya cukup sederhana, tapi jawabannya sangat sulit. Sesungguhnya jawaban dari pertanyaan ini terkait pilihan politik kita masing-masing.

Dulu ketika pertanyaan ini diajukan, sebenarnya saya berharap bahwa pasangan capres dan cawapres tidak hanya dua seperti sekarang ini. Ketika itu saya jawab, “cari alternatif lain saja bung, dua-duanya tidak layak dipilih”. Saya menjawab demikian, karena baik kubu Jokowi maupun Prabowo, adalah sisa orde baru, yang ingin berkuasa kembali. Memang SBY sendiri juga adalah sisa orde baru, karena beliau merupakan salah satu jenderal didikan akademi militer orde baru. Selain itu, beliau adalah salah seorang elit militer pada masa orde baru. Sebagai seorang yang pernah menjadi elit militer orde baru, SBY tidak sepenuhnya menjalankan pola orde baru, ketika berkuasa. Memang pemujaan, alias penyembahan totemnya masih sama, yaitu masih diselenggarakannya upacara peringatan hari kesaktian Pancasila, tanggal 1 Oktober. Akan tetapi, pola represif dalam menjalankan kekuasaan, SBY berbeda jauh dengan orde baru, bahkan, kalau boleh dikata, Megawati jauh lebih represif, ketika menjalankan kekuasaan, dibanding SBY.

Jadi kalau Megawati, adalah sipil yang militeris, mungkin SBY ini adalah militer yang sipilis. Pada tahun 2014 ini, partai Megawati memenangi pemilu legislatif, walaupun calon presiden yang diajukan bukan Megawati, melainkan figur baru, Jokowi, yang dipoles lipstick oleh berbagai media mainstream.

Selentingan-selentingan seputar konflik internal PDIP, mewarnai pencapresan Jokowi. Wacana bahwa dia adalah boneka Mega dan PDIP begitu mengemuka, terutama karena penentu utama kebijakan di PDIP adalah Megawati.

Hal ini berbalik 180 derajat, ketika Jusuf Kalla (JK) diputuskan menjadi wapres Jokowi. Wacana boneka memang masih ada, persoalannya adalah siapa yang memainkan boneka itu. Sebagai seorang yang lebih senior, JK dianggap sebagai orang yang akan memainkan boneka Jokowi.

Ungkapan “Gesture never lie”, terbukti dengan jelas, ketika JK mengarahkan Jokowi supaya melambaikan tangan pada audiens di RSPAD Gatot Soebroto, sehabis tes kesehatan.

Gerbong JK berisikan orang-orang orde baru yang menampilkan diri sebagai sosok reformis. Sebut saja Suhardiman, elit SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia). SOKSI dan Suhardiman yang tergabung dalam sekber Golkar, adalah motor gerakan penggulingan Bung Karno di masa lalu. SOKSI sendiri dibentuk untuk menandingi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), organisasi buruh yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).

Yang lucu adalah pernyataan Suhardiman terkait dukungannya terhadap Jokowi, kata sakti “Hak Asasi Manusia” (HAM), dijadikan dalih untuk mendukung Jokowi. Padahal, ketika menopang kekuasaan orde baru, si Suhardiman ini tidak pernah ngomong tentang pembantaian massal terhadap para kader dan simpatisan PKI, pasca Gerakan 30 September 1965.

Elit orba di gerbong JK berikutnya, adalah Jendral (purn) Luhut Panjaitan. Pernyataannya tentang jiwa korsa TNI, sebagai argumentasi pembelaan pada serangan kopassus terhadap penjara Cebongan, adalah bukti bahwa dia merupakan seorang militer yang militeris. Selain itu, dia juga pernah mengklaim telah menggagalkan kudeta Prabowo terhadap L.B Moerdani, Menteri Pertahanan dan Keamanan, sekaligus Panglima ABRI (Menhankam Pangab), ketika terjadi tragedi Tanjung Priok tahun 1984. Tragedi Tanjung Priok ini, bahkan pernah membuat Moerdani diadili di Mahkamah Militer orde baru. Oleh karena itu, sudah bisa disimpulkan keberpihakan politik pembela Moerdani, seperti Luhut Panjaitan, pada waktu itu.

Yang menggelikan adalah ketika Luhut minta Prabowo menuntaskan persoalan HAM, dan supaya pengadilan HAM terhadap Prabowo, dibentuk. Mengapa baru sekarang si Luhut ini ngomong seperti ini? Mengapa ketika peristiwa Tanjung Priok, ia tidak minta pembentukan pengadilan HAM terhadap L.B Moerdani?

Selain gerbong JK, di kubu Megawati, sudah terlebih dulu ada Jenderal (purn) Hendropriyono, komandan militer pada peristiwa talangsari di Lampung. Dia juga kepala BIN (Badan Intelijen Negara), di era Megawati. Pada masa inilah pejuang HAM, Munir meregang nyawa di pesawat. Jenderal orba lainnya, di kubu Jokowi, adalah Wiranto, Menhankam Pangab pada tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2. Ketika beberapa mahasiswa tewas, dalam aksi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB), Wiranto dengan sadis, mengatakan bahwa RUU PKB, adalah RUU yang paling baik. Hal yang masih menjadi tanda tanya besar adalah, mengapa ia meninggalkan Jakarta dengan membawa semua kepala staf ABRI bersamanya, ketika berlangsungnya kerusuhan Mei tahun 1998 di Jakarta?

Selain JK, Luhut, dan Suhardiman, ada banyak anggota partai penguasa orba (Golkar), yang bergabung ke Jokowi. Sementara, Partai Golkar sendiri, memilih merapat ke Prabowo, taktik politik dua kaki, supaya tetap dalam kekuasaan.

Bagaimana dengan Prabowo? Sebagai salah seorang purnawirawan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan mantan anggota Golkar, juga pernah ikut konvensi capres Partai Golkar, tahun 2004, walaupun akhirnya kalah dengan Wiranto, Prabowo sudah jelas memang orang lingkaran dalam orde baru. Hal ini ditambah lagi dengan status masa lalunya, sebagai komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pasukan elit TNI angkatan darat (AD) dan suami dari Titiek anak Soeharto, penguasa tertinggi rezim orde baru.

Di akhir masa kekuasaan orde baru, sebuah kelompok penculik, yang bernama Tim Mawar, dibentuk oleh Kopassus pimpinan Prabowo, untuk menculik para aktivis anti orde baru Soeharto. Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Suyat, Bimo Petrus, Andi Arief, Nezar Patria, Mugiyanto, Aan Rusdianto, adalah para aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik), yang diculik oleh Tim Mawar.
Prabowo, kemudian mengakui kalau dialah yang memberikan instruksi pembentukan Tim Mawar, hal yang mengakibatkan dia dipecat dari ketentaraan.

Akan tetapi, Prabowo juga menyatakan bahwa semua aktivis yang diculik atas perintahnya itu, telah dikembalikan dalam keadaan hidup, dan dilepaskan dalam satu tempat. Berikutnya, para aktivis itu diambil lagi oleh kelompok penculik kedua yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya. Para aktivis yang diculik kelompok kedua, juga tidak diketahui keberadaannya hingga sekarang. Terlepas dari pernyataan Prabowo, bahwa ia tidak memerintahkan pembunuhan para aktivis tersebut, penculikan yang dia perintahkan adalah salah satu kesalahan besar, yang mengangkangi Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Pledoi yang diberikan oleh Prabowo, adalah bahwa penculikan aktivis ini, adalah hal yang dianggap benar oleh rezim orde baru kala itu.

Sebenarnya, Prabowo adalah orang yang paling berkepentingan untuk membongkar kasus penculikan aktivis dan tragedi Mei 1998. Hal itu penting karena jika apa yang dinyatakannya benar, maka otomatis namanya akan bersih. Hanya saja, sangat disayangkan, belum ada penguasa di Indonesia pasca Soeharto yang dengan serius membongkar kasus ini. Prabowo sebenarnya adalah orang yang dibuang oleh rezim orde baru Soeharto, karena dia tidak menuruti semua perintah yang diberikan oleh penguasa tertinggi orba padanya. Pasca pemilu legislatif kemarin, dalam situs detik.com sempat dijelaskan bahwa hal yang menjadi penyebab percerarian Titiek dan Prabowo, adalah didorong oleh penolakan Prabowo menembaki mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR.

Sekarang, kembali pada pertanyaan awal tadi, pilih Prabowo atau Jokowi? Jawaban saya masih sama, bahwa tidak ada capres yang layak dipilih, baik itu Prabowo maupun Jokowi, amis darah korban rezim orde baru Soeharto, masih tercium dengan jelas dari kedua kubu ini. Para korban pembantaian massal 1965 tentu tidak akan melupakan SOKSI dan sekber Golkar, yang menari-nari di atas penderitaan mereka. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya tetua SOKSI yang berkuasa penuh di SOKSI, memilih merapat ke kubu Jokowi. Jusuf Kalla, mantan ketua Partai Golkar, sekarang adalah cawapres pendamping Jokowi.

Selanjutnya, para korban peristiwa Talang sari tahun 1989, tentu masih teringat dengan kekejian tentara Hendropriyono, yang menghabisi nyawa saudara-saudara mereka. Hendropriyono bersama Wiranto (Menhankam Pangab pada tragedi Trisakti dan Semanggi) sekarang adalah bagian dari pengarah dalam tim sukses Jokowi-JK.

Untuk Prabowo, keluarga korban penculikan tentu tidak akan melupakan aksi penculikan kelompok penculik terhadap keluarga mereka pada tahun 1998. Selama kebenaran terkait kasus penculikan ini tidak terungkap, makas selama itu pula, Prabowo akan selalu dikaitkan dengan kasus penculikan aktivis ini. Kalangan rakyat yang tidak pelupa, tentu juga tidak akan melupakan bahwa Prabowo pernah menjadi bagian dari keluarga Cendana yang telah menjarah Indonesia berpuluh-puluh tahun lamanya.
#TM